A.
PENDAHULUAN
Dalam banyak pendekatan dan teknik BK
yang telah kita pelajari dari mulai pendekatan konseling psikoanalisis klasik
yang menekankan pada tiga struktur kepribadian yaitu id, ego dan
super ego. Dimana Freud dalam pandangannya menyatakan bahwa manusia
pada dasarnya ditentukan oleh energi psikis dan pengalaman masa lalunya dan
manusia di motivasi oleh dorongan seksual dan libidonya.
Namun seiring dengan itu dalam pandangan
neo analisa yang dipelopori oleh sekelompok orang, antara lain Adler, Jung,
Sullivan, Rank, dan Fromm mengemukakan pandangan bahwa manusia bukan hanya
dipengaruhi oleh kondisi masa lalu dan dorongan seksual atau libido. Pandangan
neo analisa lebih menekankan pada fungsi ego, mereka mempercayai bahwa fungsi
ego akan memberikan pertimbangan yang seimbang terhadap aspek biologis, sosial,
dan cultural dari perilaku manusia. hal ini muncul sebagai reaksi terhadap
psikoanalisa yang dikemukakan oleh Freud.
Sedangkan menurut Alfred Adler
dalam konseling individual mengemukakan struktur kepribadian manusia itu
tidak semata-mata untuk memuaskan apa yang menjadi kesenangannya seperti
agresif dan seksual pada teori Freud. Tetapi sebaliknya, manusia dimotivasi
oleh rasa tanggung jawab sosial dan kebutuhan yang ingin dicapai. Adler yakin
bahwa individu memulai hidup dengan kelemahan/ketidakberdayan fisik yang
mengaktifkan perasaan superior, perasaan yang menggerakkan orang untuk berjuang
menjadi superioritas atau untuk menjadi sukses.
Kemudian dalam pandangan konseling
analisis transaksional dari Eric Berne, mengungkapkan bahwa pada setiap
diri manusia terdapat struktur kepribadian yang terdiri dari kesatuan yang
disebut dengan “ego state” atau pertanyaan ego. Unsur kepribadian
terdiri dari tiga bagaian,
yaitu ego state child, ego state parent, dan ego state adult.
Berne yakin bahwa manusia pada dasarnya baik dan mempunyai kemampuan untuk
hidup mandiri, memiliki potensi untuk mengelola dirinya, termasuk mengatasi
masalah-masalah yang dihadapinya dan terbebas dari ketergantungan pada orang
lain. Manusia juga memiliki kemampuan untuk membuat keputusan dan
bertanggungjawab atas pilihan dan keputusan yang diambilnya.
Berbeda dengan Freud, Adler dan Berne,
konseling self dari Carl Rogers mengembangkan teori yang berpusat pada
klien. Teori kepribadiannya didasari atas
tiga komponen pokok; yaitu organisme, lapangan fenomena dan self. Rogers
meyakini bahwa manusia pada dasarnya mempunyai potensi untuk berkembang
mencapai aktualisasi diri.
Namum
dalam pandangan eksitensialis oleh Frederick Perls yang berpijak
pada premis bahwa individu-individu harus menemukan jalan hidupnya sendiri dan
menerima tanggung jawab pribadi. Dalam pendangan Konseling Gestalt berfokus
pada apa dan bagaimana-nya tingkah laku dan pengalaman “di sini dan
sekarang”, dan memadukan bagian-bagian kepribadian yang terpecah dan tidak
diketahui agar menjadi kekuatan dan motivasi untuk mencapai self
actualization (striving to be) dan self regulation.
Pendekatan konseling behavioral dari Skinner
berasumsi bahwa tingkah laku manusia dikontrol dan dipengaruhi oleh faktor
luar. Unsur kepribadian yang dipandangnya relatif tetap adalah tingkah laku itu
sendiri. Ada dua klasifikasi tipe tingkah laku menurut skinner, yaitu tingkah
laku responden dan tingkah laku operan. Kepedulian utama dari Skinner adalah
mengenai perubahan tingkah laku, jadi hakekat teori Skinner adalah teori
belajar, bagaimana individu menjadi memiliki tingkah laku baru, menjadi lebih
terampil, dan menjadi lebih tahu.
Williams Glasser
dalam pendekatannya konseling realitas, menekankan pada perkembangan pribadi
yang bertanggung jawab adalah dalam pemenuhan kebutuhan pribadinya tidak
mengganggu kebutuhan orang lain. Dengan kata lain konseling realitas
mengidealkan tingkah laku sebagai individu yang tercakupi kebutuhannya akan
cinta dan harga diri. Setiap orang belajar untuk memenuhi kebutuhan tersebut,
yang pada gilirannya akan mengembangkan tingkah lakunya yang normal yakni yang
bertanggung jawab dan berorientasi pada realita serta mengidentifikasi diri
sebagai individu yang berhasil atau sukses.
Suatu hal yang menarik perhatian kita
dari konseling rasional emotif yang dikembangkan oleh Albert Ellis,
adalah manusia memiliki kapasitas untuk bertindak secara rasional dan irrasional.
Maka dalam tujuan konseling RET adalah mengubah pemikiran yang tidak logis/irrasional
menjadi rasional.
Demikianlah sedikit ulasan dari beberapa
pendekatan dan teknik dalam Konseling, maka sampailah kita pada konseling
eklektik pancawaskita yang insyaALLAH akan memberikan warna baru dan
pencerahan dalam melaksanakan konseling pada masa yang akan datang.
B.
PENDEKATAN
EKLEKTIK
Pendekatan eklektik dalam pelaksanaan
proses konseling diselenggarakan melalui berbagai teknik (teknik umum dan
teknik khusus) yang dipilih secara eklektik yang diturunkan dari berbagai
pendekatan yang telah kita pelajari sebelumnya.
Teknik umum
diantaranya meliputi peneriman terhadap klien, sikap jarak duduk, kontak
mata, 3 M, kontak psikologis, penstrukturan, ajakan untuk berbicara, dorongan
minimal, pertanyan terbuka, refleksi isi dan perasaan, keruntutan, penyimpulan,
penafsiran, konfrontasi, ajakan untuk memikirkan sesuatu yang lain. Penuguhan
hasrat, penfrustasian klien, strategi tidak memaafkan klien, suasana diam,
tranferensi dan kontra-transferensi, teknik eksperimensial, interpertasi
pengalaman masa lampau, asosiasi bebas, sentuhan jasmanih, penilaian,
penyusunan laporan.
Sedangkan Teknik khusus meliputi
pemberian informasi, pemberian contoh, pemberian contoh pribadi, perumusan
tujuan, latihan penenangan sederhana dan penuh, kesadaran tubuh, disensitisasi
dan sensitisasi, kursi kosong, permainan peran dan permaian dialog, latihan
keluguan, latihan seksual, latihan transaksional, analisis gaya hidup, kontrak
dan pemberian nasehat.
Teknik-teknik tersebut dipilih dan
ditetapkan sesuai dengan keunikan klien dengan masalah dan perkembangannya
sejak awal sampai dengan akhir proses konseling. Penggunaan teknik-teknik
tersebut pada umumnya dalam konseling perorangan. Namum banyak diantaranya yang
cukup efektif bila dimanfaatkan dalam konseling kelompok.
C.
PENGERTIAN
PANCAWASKITA
Panca = Lima
Waskita
= Cerdas, Tekun, Ulet, Cermat, Benar,
waspada, arif, hati-hati.
Lima hal ini yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk bisa menjadi konselor profesional dengan
mengintegrasikan lima faktor yang
mempengaruhi perkembangan dan kehidupan individu, yaitu Pancasila, Pancadaya
(daya taqwa, daya cipta, daya rasa, daya karsa, dan daya karya). Liharid
(jasmaniah-rohaniah, individual-sosial, material-spiritual, dunia-akhirat, dan
lokal-global/universal). Likuladu (gizi, pendidikan, sikap dan
perlakuan, budaya, kondisi insidental). Dan Masidu (rasa aman,
kompetensi, aspirasi, semangat, dan penggunaan kesempatan).
Pengaruh faktor-faktor tersebut perlu diperhatikan secara
Waskita (cerdas, tekun, ulet, cermat, benar, waspada, arif, hati-hati)
dan dilakukan pembinaan melalui konseling, sehingga perkembangan dan kehidupan
individu menjadi lebih membahagiakan.
D.
PROSEDUR
Standart kompetensi yang harus dimiliki oleh konselor
sebelum melaksanakan konseling diantaranya:
1.
Lidudkon
(lima dasar unsur dinamis konseling)
·
Berfikir cerdas
·
Berwawasan luas
·
Komunikasi tangkas
·
Penggunaan metode tuntas
·
Unsur moral laras
2.
Frame
of Reference dalam mengungkap masalah klien
a. Liratahid
(Lima Ranah atau tataran Kehidupan)
b. Pancadaya
c. Likuladu
(Lima Kekuatan di Luar Individu)
d. Masidu
(Lima Kondisi yang ada pada diri Individu)
e. Isi
diagnostik dalam 5 -an, ada 5 ranah ( 5 ranah diagnosis kondisi psikis )
1. Ranah
kondisi psikis (yang dapat diukur)
2. Ranah
kondisi jasmaniah
3. Ranah
kondisi sosial emosional
4. Ranah
kondisi instrumental
5. Ranah
kondisi spiritual
3.
Tahapan
Konseling
a. Pengantaran
Proses pengantaran (an-1) mengantarkan klien memasuki
kegiatan konseling dengan segenap pengertian. Tujuan dan asas yang
menyertainya. Proses pengantaran ini ditempuh melalui kegitan penerimaan yang
bersuasana hangat, permisif, dan KTPS (klien tidak pernah salah), serta
penstrukturan. Apabila proses awal ini sukses, klien akan mampu menjalani
proses konseling selanjutnya dengan hasil yang lebih menjanjikan.
b. Penjajakan
Proses penjajakan (an-2) dapat diibaratkan sebagai
membuka dan memasuki tabir misteri atau hutan belantara yang berisi
gatra-gatra klien bersangkut-paut dengan perkembangan dan permasalahannya.
Sasaran penjagaan adalah hal-hal yang dikemukakan klien dan hal lain yang perlu
dipahami tentang diri klien. Sasaran ini berada dalam lingkup masidu,
likuladu, dan pancadaya yang terlukis di dalam pengalaman klien
dalam proses perkembangannya. Seluruh sasaran penjagaan ini adalah berbagai
gatra yang selama ini terpandam, tersalahartikan dan/atau pun terhambat
pengembangannya pada diri klien.
c. Penafsiran
Apa yang terungkap melalui penjajagan merupakan berbagai
gatra yang perlu diartikan. Gatra-gatra klien itu (yang cukup signifikan) perlu
diketahui Arti Dari Dalam-nya (ADD) secara tepat dan diberikan Arti
Dari Luar-nya (ADL) secara positif, dinamis dan juga tepat. Gatra yang
besar dipecah dan diurai menjadi gatra-gatra yang lebih kecil, sebaliknya
sejumlah gatra digabung dan dirangkum menjadi gatra yang lebih luas, lalu
dikaitkan dan dilihat relevansinya dengan gatra-gatra lainnya. Hasil proses
penafsiran (an-3) ini pada umumnya adalah aspek-aspek Keberadaan yang Sedang
Ada (KSA) dan Keberadaan yang Mungkin Ada (KMA) pada diri klien
dengan jelas, tepat dan terjangkau segi-segi dinamikanya. Dalam rangka
penafsiran ini, upaya diagnosis dan prognosis dapat memberikan manfaat yang
berarti.
d. Pembinaan
Proses pembinaan (an-4) ini secara langsung mengacu
kepada pengentasan masalah dan pengembangan diri klien. Upaya pembinaan
diarahkan melalui proses interpretasi. Arah dan sasaran jangka pendek dan
langsung pembinaan ialah terkembangkannya masidu yang lebih memandirikan dan
membahagiakan klien dan lingkungannya secara produktif. Dengan berbagai teknik
khusus dalam konseling sasaran jangka pendek itu didorong pencapaiannya. Lebih
jauh lagi, sedapat mungkin proses konseling hendaknya juga mampu menyentuh likuladu
yang besar pengaruhnya terhadap kehidupan klien. Karena likuladu pada
umumnya tidak dapat langsung terjangkau oleh proses konseling yang terwujud
dalam pertemuan tatap muka antara klien dan konselor. Maka pembinaan terhadap likuladu
itu biasanya terlaksana melaui pendekatan “politik”. Pembinaan terhadap
likuladu dan masidu itu diharapkan juga meningkatkan pancadaya klien.
Melalui pembinaan dalam konseling gatra-gatra lama diproses menjadi gatra-gatra
baru yang lebih memungkinkan berfungsinya energi pada diri klien secara
optimal.
e. Penilaian
Upaya pembinaan melalui konseling diharapkan menghasilkan
hal-hal ataupun perubahan yang berguna bagi klien, khususnya berkenaan dengan masidu.
Lebih konkrit lagi, hasil-hasil tersebut hendaknya berapa meningkat dan semakin
efektifnya wawasan, pengetahuan, keterampilam dan sikap (WPKNS)
bagi kehidupan klien dalam lingkungan lirahid. Kadar perubahan yang
terjadi pada diri klien dapat diungkap dapat diungkapkan atau dinilai (an-5) segera
menjelang diakhiri proses konseling, dalam jangka pendek beberapa hari
kemudian, atau dalam janga waktu yang lebih panjang. Ketika proses
konseling akan segera diakhiri. Misalnya konselor dapat menanyakan kepada klien
beberapa hal yang merupakan bauh dari proses yang baru saja berlangsung, yaitu
pengetahuan (P1) atau informasi baru apa yang diperoleh klien, bagaimana
perasaan (P2) klien (apakah tambah ringan, releks, terbebas dari himpitan yang
memberatkan atau menyesakkan, dan sebagainya) serta kegiatan (K) apa yang akan
dilakukan klien untuk menindaklanjuti hasil- hasil konseling yang telah
tercapai. Sedangkan penilaian pasca konseling yang lebih jauh, baik dalam
jangka pendek maupun jangka panjang,
mengacu kepada pemecahan masalah dan perkembangan klein secara lebih
menyeluruh.
E. PENUTUP.
Suatu hal yang perlu kita pahami dalam
konseling eklektik pancawaskita adalah bagaimana memahami berbagai pendekatan
dan teori konseling dengan berbagai teknik, dan berusaha memilih dan menerapkan
sebagian atau satu kesatuan teori beserta tekniknya sesuai dengan permasalahan
klien. Teori-teori tersebut digunakan secara sistematis, tidak bercampur-aduk,
namun dipilih dan dipilah dalam teknik yang digunakan untuk menangani masalah
klien. Penyelenggara konseling eklektik tidak menggunakan atau menjadikan dogma
satu pendekatan/teori konseling tertentu. Ia memahami kekuatan dan kelemahan
masing-masing pendekatan/teori yang ada. Dengan demikian konselor tahu kapan
menggunakan atau tidak menggunakan pendekatan/teori tertentu dalam tekniknya.
Lebih jauh lagi, tingkat keprofesionalan
konseling akan lebih dipertinggi apabila praktik konseling eklektik diberi
warna khas oleh nuansa-nuansa positif yang memancar dari diri pribadi konselor.
Akhir kata kami ucapkan semoga
bermanfaat. Wabillahitaufiq, walhidayah, assalamualaikum warahmatullahi
wabarakatuh.
Sumber bacaan
Prayitno (1998). Konseling Pancawaskita. Kerangka
Konseling Eklektik.BK FIP IKIP Padang.
James
C. Hansen, Richard R. Steven, Richard W. Warner. 1977. Counseling Theory and
Proces. Allyn and Bacon, Inc: Boston.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar